Jumat, 20 Juni 2008

Kerja atau Nggak, ya?

“Kalau kamu kerja, artinya kan kamu sudah bisa cari uang sendiri. Jadi aku nggak usah kasih kamu uang bulanan lagi!”

Itulah yang dikatakan suami salah seorang sahabat lamaku ketika sahabatku ini meminta izin untuk bekerja.

”Lantas kamu bilang apa?”

”Ya, aku nggak bisa bilang apa-apa. Daripada aku nggak dikasih uang bulanan, malah payah nanti,” jawabnya menahan kecewa. Ya, aku tahu bahwa ia sangat ingin bekerja. Bukan semata-mata karena faktor finansial. Namun di balik itu, tentu saja seorang perempuan membutuhkan media ekspresi, sosialisasi, networking, dan aktualisasi diri yang sepertinya sangat bisa didapatkan dari dunia kerja. Juga sebagai seorang lulusan S1 alangkah sayangnya jika ilmu yang didapat tak diaplikasikan untuk masyarakat.

Di zaman serba sulit ini, banyak orang –termasuk perempuan- yang makin pusing tujuh keliling memikirkan solusi keuangan. Salah satu cara agar dapur tetap mengepul adalah dengan dua penghasilan, alias suami istri kedua-duanya bekerja. Namun seringkali dalam banyak rumah tangga, tugas istri dimaknai dengan melayani suami dan anak. Istri tak usah lah cari uang, itu tugas suami. Pada kondisi finansial yang mapan hanya dari satu penghasilan tentu hal ini bukan masalah besar. Namun bagaimana dengan keluarga dengan kondisi keuangan pas-pasan? Tentu suami tak bisa egois menjadi pencari nafkah tunggal. Kini perempuan justru seringkali memiliki peluang kerja yang lebih besar dibandingkan laki-laki.

Ibu bekerja seringkali hidup penuh dilema. Jika bekerja, waktu tersita untuk pekerjaan. Artinya urusan anak, suami, dan rumah bisa jadi tak sepenuhnya bisa terurus. Namun secara finansial, pasti akan sangat membantu keuangan keluarga. Jika ibu tak bekerja, meskipun dapat menunggui anak dan suami sepanjang waktu, perempuan berada pada kondisi lemah secara keuangan. Taruh kata, jika suatu saat usaha sang suami bangkrut, atau sang suami meninggal. Perempuan yang terbiasa bergantung pada setoran dari suami biasanya akan kelabakan (kecuali jika telah memiliki aset yang bisa jadi sandaran hidup).

Perempuan tak bekerja juga rawan menjadi korban kekerasan ekonomi yang bisa saja dilakukan suami, bahkan tanpa disadari perempuan itu sendiri. Melarang seorang perempuan bekerja adalah termasuk salah satu bentuk kekerasan yang seringkali dilakukan suami pada pasangannya. Tentu berbeda jika seorang perempuan tidak bekerja karena pilihan hati nuraninya sendiri tanpa adanya paksaan atau ancaman dari pihak lain.

in my sight:

Bekerja atau tidak? Itu masalah pilihan dan kebutuhan hidup.

Ketika seorang suami melarang istrinya bekerja, tak ada salahnya cari tahu apa penyebab mengapa ia melarang istrinya bekerja. Bisa jadi karena alasan tak ingin anak dan dirinya tak terurus karena sang istri sibuk kerja. Bisa juga karena sudah merasa mampu membiayai keluarga. Namun ada juga suami yang melarang istrinya bekerja karena cemburu pada laki-laki lain yang ada di (calon) tempat kerja istrinya.

Jika memang tetap ingin bekerja, tak ada salahnya untuk dikompromikan. Tunjukkan pada suami Anda bahwa Anda tak akan mengabaikan keluarga.

Jika memang dilarang suami bekerja, carilah celah untuk mengamankan kondisi finansial. Sehingga jika terjadi suatu hal yang tak diinginkan pada suami, keluarga tak terlalu ‘jatuh’ secara finansial. Caranya antara lain adalah dengan membangun aset sedini mungkin, misalnya dengan berinvestasi properti, saham, memiliki perlindungan asuransi, dll.

Kini banyak pilihan pekerjaan yang memungkinkan seorang perempuan tetap berhasil dalam kehidupan berkeluarga dan karier, misalnya dengan bekerja part time. Meskipun mungkin karier tak selapang orang lain yang bekerja full time, namun keleluasaan waktu juga memberikan keluangan untuk tetap mengawasi tumbuh kembang anak sebaik-baiknya. Tak hanya itu, ada waktu luang untuk bersenang-senang yang bisa didapatkan oleh perempuan bekerja part time, misalnya tetap sempat jalan ke mall, ke gym, arisan, dan seabrek kegiatan sosial lainnya.

Untukku sekarang sebagai seorang ibu yang bekerja, ku tak lagi berorientasi pada status karier, namun pada apa yang kita capai. Berhitunglah dengan ”what you lose and what you get”. Ketika suatu pekerjaan dapat memberikan kelonggaran waktu dan finansial yang memadai, why not. Take it! Tapi jika memang mau bekerja full time, pilihlah perusahaan yang family friendly alias nggak saklek. Maklum seorang ibu kadang mesti mengantar jemput anak sekolah, ambil raport, mengantar anak ke dokter, kadang mesti bolos karena anak sakit.

Well, tergantung prioritas apa yang ada di benak kita. Karier atau keluarga?

Danen dan botol pembersih budhe

Danen : "Ma, kenapa sih botolnya budhe kog nggak dibawa pulang ke jakarta?"
Mama : "Nggak dibawa pulang, Nen. Kan sudah habis," jawab mama sambil memegangi botol bekas pembersih muka yang dimaksud Danen.
Danen : "Kalo habis kenapa kog nggak dibuang di tong sampah? Memangnya di Jakarta nggak ada tong sampah ya?"
Mama : ????