Minggu, 11 Mei 2008

Fenomena Pengasuh dan PRT

Malam itu ia meminta izin untuk menemui suaminya yang bekerja di kota yang sama tempat kami tinggal. Sambil menahan tangis, pengasuh anakku ini menceritakan kecemburuannya dengan suaminya yang main api dengan pembantu sebelah tempat kerjanya.
Sambil menahan nafas ku izinkan ia pergi. Bukan sekali dua perempuan asal Salatiga ini menangis karena ulah suaminya. Setiap kali ia datang ke rumah mengunjungi pengasuh anakku, maka segera saja setelah laki-laki itu pulang, pengasuhku lantas masuk kamar, menangis. Kemudian migrainnya kambuh bahkan hingga mual muntah. Akibatnya mudah ditebak. Aku yang jadi repot karena hal yang seharusnya jadi tugasnya terbengkelai begitu saja. Termasuk tugasnya untuk menjaga buah hatiku. Untunglah masih ada asisten rumah tangga yang dapat membantu mem”back up” tugasnya.

Karena sering berganti pengasuh, aku ”menemukan” kasus rumah tangga tak bahagia. Hampir pada tiap pengasuh anakku, ada saja cerita miring tentang rumah tangganya. Aku memang tak menggunakan jasa baby sitter yang buat kantongku agak bikin bolong. Selalu ku cari pengasuh yang berusia di atas 25 tahun. Pertimbanganku, mereka yang masih ABG biasanya masih suka sibuk dengan dirinya sendiri, kurang bisa ngemong, dan pacaran alhasil malah lalai dengan tugasnya.

Salah satu dari pengasuh anak pertamaku adalah janda asal Wonosobo. Menikah 14 tahun tanpa anak, ia ditinggal selingkuh oleh suaminya. Lucunya, meski telah selingkuh, laki-laki serakah ini tetap tak mau melepaskannya. Nekat saja, ia menggugat cerai dan berhasil. Setelah itu ia melarikan diri ke Semarang dan bekerja menjadi pengasuh anakku. Bekerja setahun, ia malah menemukan jodoh seorang tukang bangunan yang bekerja di dekat rumah kami. Kalau tadinya ku berpikir malas punya pengasuh yang masih muda karena hobi pacaran. Ternyata, janda pun sama saja...hahaha... Tak masalah. Karena pada dasarnya ku tak mau melanggar hak asasinya untuk bersenang-senang, pacaran, dan merid lagi. Jadi selama mengasuh Danendra, pengasuh ini diapelin pacarnya dua kali seminggu. Akhirnya ia pamit keluar kerja karena mau menikah dan oleh calon suaminya ia tak boleh bekerja lagi.

Pengasuh lain yang ku dapatkan di penampungan PRT adalah seorang perempuan berusia sekitar 30 tahunan. Gerak-geriknya sangat halus. Ketika ku bertanya dimana suaminya, ibu beranak 3 ini berkata bahwa sudah 8 bulan suaminya tak pulang, tanpa berita, dan tanpa memberikan nafkah lahir batin. Mau tak mau ia harus bekerja membanting tulang untuk memberi makan ketiga anaknya. Belum lagi cerita bahwa suaminya juga suka berbuat kasar dan melakukan kekerasan, tanpa ia sanggup melawan. Sebagai lulusan SD ia merasa tak mempunyai kemampuan lain untuk bekerja selain sebagai pembantu rumah tangga. Seminggu kemudian ia memutuskan keluar dari pekerjaannya sebagai pengasuh Figo, anak keduaku. Ia berkata, tiap memandang anakku, ia kangen anak-anak yang sebelumnya tak pernah ia tinggalkan. Sebagai sesama perempuan dan sesama ibu tentu ku dapat merasakan kepedihannya jauh dari anak.
Tak hanya satu mantan pengasuh anakku yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Ada lagi cerita tentang pengasuh yang malas pulang ke rumah karena kalau pulang ke rumah biasanya siap-siap jadi sansak hidup suaminya.

Ada pula kisah tentang asisten rumah tangga yang sudah ikut dengan ayahku sejak hampir 20 tahun lalu. Ia menikah dengan seorang PNS beristri. Meski rumah tangga sang PNS ini dengan istri pertamanya tidak bahagia, namun ia tak menceraikan sang istri, hanya pisah rumah. (Maklum saja, perceraian PNS agak rumit dan berimplikasi pada finansialnya.) Asisten rumah tangga ini rela saja dimadu. Bahkan tanpa diberikan tempat tinggal oleh suaminya. Mereka justru bertemu dan memadu kasih di kamar yang ada di rumah ayah. Seminggu dua kali sang arjuna ini mengunjungi asisten rumah tangga ini. Ketika ia tak lagi bekerja di rumah ayahku, ia mesti pulang ke desa. Maka bertemu pun jadi repot karena jadi cinta dua kota. Well, itulah risiko pilihan hidup.

Pengasuh anakku yang sekarang ini juga korban keadaan dan kesewenang-wenangan laki-laki. Suaminya menceraikan dan menikah lagi dengan perempuan lain. Layaknya lagu, tanpa intro, ia langsung ditalak. Laki-laki ini meninggalkan pengasuh dengan 4 orang anak, 2 anak yang terakhir masih balita. Tanpa nafkah, tanpa harta. Ia bekerja kesana-kemari untuk membesarkan dan menyekolahkan anak-anaknya. A very tough woman!
Fenomena KDRT sungguh bukan cerita baru. Bertemu dengan perempuan-perempuan seperti ini hatiku sangat trenyuh. Sampai-sampai ku mendapat kesimpulan sementara, jika ada perempuan desa berstatus menikah yang mau bekerja jauh dari suaminya, bisa jadi ini merupakan indikasi rumah tangga yang tidak bahagia.

Duh perempuan, selalu menjadi objek penderita. Bagaimana pun sakit, mereka tak mampu berbuat sesuatu ketika menjadi korban ketidakadilan. Tanpa berani sekalipun melaporkan ke polisi, atau mencari upaya perlindungan hukum. Para asisten rumah tangga dan pengasuh yang berpendidikan rendah ini seringkali tak mengetahui ada payung hukum yang melindungi perempuan, bahkan sebenarnya bisa tanpa biaya.

Adalah aib jika masalah keluarga dibeberkan di muka publik. Juga alasan kasihan jika suaminya (yang tidak mengasihani mereka) dipenjara atau mendapat masalah. Apapun alasannya tak ada suatu kebenaran pun dibalik tindakan kekerasan, penindasan, dan penjajahan hak asasi manusia.

In my sight:

Ketika cinta sudah tak lagi memberikan kebahagiaan, upayakanlah, agar ia bersinar kembali. Namun jika hanya penderitaan lahir batin yang ada, carilah jalan keluar jangan hanya diam menunggu tiap pukulan lahir maupun batin. Semoga tiap rumah tangga yang ada di muka bumi ini mendapatkan perlindungan dari Allah SWT. Semoga tiap suami dan tiap istri di dunia ini menyadari bahwa pasangannya adalah orang yang sangat pantas dihargai, disayangi, dan diperlakukan dengan baik.

My husband, thank you for being a very very good husband for me. I Love U….

Tidak ada komentar: